Kebaya Zaman Dulu Punya Indonesia
Pada masa penjajahan Belanda, penggunaan pertunjukan kain Kebaya di atas panggung adalah peran perempuan, termasuk kalangan kelas bawah, wanita yang memakai kain Kebaya adalah petani atau pembantu. Wanita yang memiliki identitas mereka sendiri yang telah membuktikan pendidikan Barat dan memiliki pekerjaan modern, memakai pakaian Barat. Identifikasi kain kebaya sebagai busana nasional mengacu pada beberapa hal:
Kebaya mendefinisikan wanita sebagai istri yang tunduk pada suami mereka
Penggunaan kebaya, setidaknya yang banyak digunakan oleh ibu dan kebanyakan wanita elit, sangat membatasi. Pakaian feminin ditentukan oleh konstruksi sosial feminitas. Di banyak budaya, baik Maupu baru yang panjang, sering ada kebaya yang memakai anggapan berarti penggunaan pakaian yang mencegah gerakan, juga mengekspos dan menonjolkan kontur bentuk tubuh wanita.
Kebaya Jawa sebagai busana nasional memiliki dominasi 200 suku lainnya yang menjadi bagian dari Indonesia.Kebaya bisa jadi busana untuk semua wanita, tapi ini tidak berarti memiliki efek menyangkal perbedaan kelas sosial. Sejak zaman penjajahan, Kebaya benar-benar membedakan wanita dari berbagai kalangan. Wanita Belanda juga menggunakan kebaya dengan motif yang berbeda dari yang dikenakan oleh wanita Jawa. Secara historis, bangsawan mengenakan batik dengan kebaya sutera, beludru atau brokat. Mereka biasanya menggunakan pabrik batik dan kebaya. Variasi ini membedakan wanita dengan kasir sosial standar mereka yang memberi indikasi tentang kelompok etnis, pekerjaan dan status sosial ayah atau suami mereka dan menjelaskan mengapa wanita harus mengenakan kebaya sebagai pakaian nasional. Tubuh feminin melambangkan martabat negara.
Kebaya di tahun 60an
Menurut Julia I (2006, Jakarta) menjadi ciri khas Indonesia sejak diluncurkan dan kebaya batik berpakaian nasional seperti oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1968 yang fokus pada pencetakan formal dengan motif cantik. Kebaya tidak hanya merupakan ciri khas pakaian wanita di Indonesia, namun telah menjadi identitas kesamaan kognitif budaya. Karakteristik kebaya adalah motif kebaya yang biasanya bordir atau disulam juga kain sarung yang digunakan untuk melengkapi kebaya dipengaruhi oleh banyak unsur budaya yang ada di wilayah indonesia.
Kebaya di tahun 70an 80an
Pada awal tahun 1970an ada usaha untuk bereksperimen, terutama oleh Ratna Busana yang terdiri dari sekelompok wanita terkemuka dan berpengaruh. Mereka mengubah ide busana nasional dengan mengusung konsep roti kebaya modern bukan keharusan dan bahkan bisa digunakan dengan rambut pendek. Saat ini juga wanita mulai menggunakan banyak kebaya, terutama kebaya encim, tidak dengan kain batik tapi bawahannya lebih variatif. Kemudian di tahun 80-an keberadaan kebaya pembangunannya tidak begitu berbeda.
Kebaya di tahun 1990an
Pada 1990-an, banyak perancang busana nampaknya mempromosikan kain kebaya, seperti Iwan Tirta (yang memulai debutnya pada tahun 1970), Edward Hutabarat, Nelwan, Ghea, Asmoro, dan lain-lain. Menurut Hutabarat (2000), kebaya tidak hanya melakukan modifikasi, tapi juga mengangkat status busana kebaya fashion tinggi. Kebaya sekarang terbuat dari bahan impor dan bahan yang mahal. Saat ini, kebaya juga menjadi populer di kalangan aktivis perempuan dengan pendidikan tinggi dan kesadaran sosial. Mereka mengusung versi kain kebaya yang lebih santai, tanpa korset dan kain yang diikat di bagian pinggang dan dikenakan dengan blus atau bahkan dengan t-shirt, begitu pula kebaya. Alasan mereka menggunakan kain adalah estetika, sampai kebaya tetap bertahan eksis, maka kini sepotong kain kebaya bisa didesain agar lebih beragam. Bukan lagi sekedar busana tradisional, tapi ditransformasikan menjadi gaya artistik dan modern, atau kosmopolitan. Hal ini dimungkinkan dengan pemotongan dan finishing paling pribadi untuk setiap kebaya yang dibuat. Perlahan penggunaan kebaya dalam kehidupan sehari-hari terbengkalai dan berubah menjadi pakaian biasa di resepsi pernikahan. Model Kebaya juga berubah seiring dengan modernisasi yang berlangsung.
Komentar
Posting Komentar